watch sexy videos at nza-vids!
WWW.CERITAINDO.SEXTGEM.COM

Find us On Facebook and Twitter
facebook.jpg | twitter.jpg

PERTEMUAN PERTAMA

Sore yang cerah, aku duduk gelisah sambil
sesekali menatap jam dinding kantor
pemberangkatan bus yang akan membawaku ke
kota persinggahanku selanjutnya.

Menunggu
adalah pekerjaan yang meresahkan bagiku
terutama menunggu sesuatu hal yang baru
seperti ini. Perjalanan dengan bus dari Balikpapan
ke Banjarmasin merupakan perjalananku
pertama. Kulihat orang-orang disekitarku dengan
beragam aktivitas mereka, ada beberapa calon
penumpang yang saling bercakap-cakap, bahkan
bersendau gurau satu sama lainnya. Karena
sendirian maka yang dapat kulakukan hanyalah
menunggu serta memperhatikan mereka. Waktu
telah menunjukkan 17.15 dan tempat
pemberangkatan mulai dipadati calon
penumpang, tapi aku tak tahu apakah mereka
akan seperjalanan dengan aku karena sudah ada 3
bus yang siap berangkat dengan arah yang berbeda.

Kulihat tiket keberangkatan dan berjalan mendekat
nomor bus yang dimaksud dalam tiket. Setelah
memasuki bus tanpa kesulitan kutemukan tempat
dudukku no 33. Aku agak lega ternyata nomorku
tepat disamping jendela sehingga keinginanku
untuk dapat melihat pemandangan luar terkabul
meskipun aku sadar bahwa tak banyak yang akan
kulihat karena ini merupakan perjalanan malam
hari dan jendela bus ber-AC secara permanen tak
dapat dibuka. Kulihat keluar jendela dan secara tak
sengaja aku memperoleh pandangan yang
menyegarkan. Sebagai seorang pria lagi bujang
yang berumur 28 tahun, pandangan yang
menyegarkan otakku adalah wanita. Sudah sejak
tadi kucari pemandangan seperti ini tapi baru
kudapatkan pada saat busku akan segera berangkat.

“Kenapa cewek-cewek itu tidak ada sedari tadi?”,
umpatku dalam hati.
Kulihat cewek-cewek itu dari kaca jendela bus
sambil mengira-ngira umur mereka, “yang
rambut pendek sekitar 20-an, yang baju coklat
sekitar 25-an, yang modis disana tak lebih dari
25-an, terus..”, kemudian otakku berfantasi jika
saja salah satu dari mereka ada yang duduk di
sebelahku pasti perjalananku ini jadi asyik. Tapi
aku sadar seketika bahwa fantasiku tersebut tak
mungkin jadi kenyataan ketika seorang pria
berumur 50-an meletakkan sebuah tas disamping
tempat dudukku dengan kasar. Belum hilang rasa
kagetku pria tersebut meneriakkan sebuah nama
sambil ngeloyor keluar bus.

“Busyet, sial banget hari ini!”, umpatku dalam hati.

Awak bus sudah bersiap-siap untuk
memberangkatkan bus dengan memberi
peringatan pada calon penumpang agar segera
naik. Kulihat didalam bus juga mulai penuh, tapi
pria yang mengagetkanku tadi belum juga
menduduki kursinya disampingku. Bus mulai
bergerak tapi kursi disampingku hanya masih
terisi tas dari pria tadi. Aku tak peduli lagi dengan
siapapun yang akan duduk disampingku,
malahan aku berpikiran kalau memang hanya
terisi tas aja malah dapat memberiku keleluasan
dalam perjalanan ini, aku akan buat bantal tasnya
dan menikmati perjalanan ini dengan tidur
nyenyak dengan 2 kursi. Perhatianku sekarang
ada pada pemandangan yang muncul di jendela.
Tapi tak beberapa lama aku dikejutkan dengan
suara wanita yang bersusah payah
memindahkan tas disamping tempat dudukku
dengan dibantu seorang awak bus dan kemudian
wanita tersebut duduk disebelahku sambil
berkata, “permisi ya, bang”, aku hanya
tersenyum dan tak mengeluarkan kata-kata
karena masih bingung dengan apa yang terjadi.

Lalu dengan rasa penasaran aku bertanya pada
wanita tersebut, “Mbak, apa bener nomor tempat
duduknya?, soalnya tadi yang meletakkan tas
disini cowok.”
Sambil tersenyum wanita tersebut menerangkan
kalau pria yang meletakkan tas itu tadi adalah
suaminya yang hanya mengantarkan sampai ke
bus aja.
Kemudian dia melanjutkan dengan pertanyaan,
“Apa abang keberatan saya duduk disini?”.
Spontan langsung kujawab “Wah, nggak kok
Mbak”.
“Jangan pura-pura, pasti kamu kecewa yang
duduk disebelahmu wanita tua yang sudah
bersuami lagi!”, kujawab dengan muka merah,
“Nggak kecewa kok, lagipula Mbak juga kelihatan
masih muda”.
“Jangan basa-basi, umurku udah 35 tahun kok
dibilang muda.”, katanya.
“Tapi wajah Mbak kelihatan masih 25-an tahun.”,
kilahku.

Sekilas kulihat senyum di bibirnya dan segera
kutolehkan wajahku ke jendela untuk
menghindari tanya jawab lagi karena aku merasa
malu dengan tanya-jawab yang baru saja terjadi.
Pemandangan diluar bus mulai gelap dan lampu
didalam bus terang benderang sehingga
terpantullah wajah wanita yang duduk
disampingku di jendela kaca. Kuperhatikan
dengan seksama, perawakannya khas wanita
kalimantan, tinggi sekitar 160cm, kulit kuning agak
kecoklatan, rambut hitam sebahu agak
berombak, wajah lumayan, berat kuperkirakan
sekitar 60 kilo-an, dan dengan mengenakan kaos
ketat warna biru tua lekuk-lekuk tubuhnya yang
lumayan menggoda kelihatan, celana jeans yang
ketat menambah daya tariknya, “Tak salah aku
tadi kalau bilang ia seperti masih 25 tahun-an”,
gumamku dalam hati.
Setelah 30 menit perjalanan, bus memasuki
antrian ke dalam fery. Bus berhenti dan sopir dan
awak bus turun diikuti oleh beberapa penumpang
yang ingin ke toliet. Aku duduk santai dengan
pandangan lurus kemuka dan berusaha
memejamkan mata, tapi tak berhasil. Kucoba
merebahkan kursiku tanpa mengganggu wanita
disebelahku yang saat ini lagi asyik membaca
majalah. Dalam keadaan bus berhenti, aktifitas
yang kubuat-buat dengan berganti-ganti posisi
duduk supaya tak bosan ternyata tanpa kusadari
mengundang perhatian wanita disampingku.
“Ngantuk ya?”, tanyanya
“Iya tapi nggak bisa tidur, Mbak”, jawabku polos
“Masih sore gini kok bisa ngatuk? Seperti anak
kecil aja”, ejeknya.
“Capek Mbak, seharian jalan-jalan di Balikpapan”,
jawabku seenaknya.
“Jalan-jalan? Apa hari ini liburan sekolah? Sekolah
dimana kamu?” tanyanya lagi.
“Saya udah lulus kok”, kujawab dengan tenang
tapi dalam hatiku merasa dilecehkan seperti anak kecil.

“Oh, kukira masih sekolah. Kelihatannya kamu
masih muda sekali!”, aku cuman tersenyum saja
mendengar alasannya, karena wajah &
penampilanku menunjukkan lebih muda dari
umurku yang hampir kepala 3 dan hal ini sudah
seringkali terjadi.
“Darimana asalmu?”
“Saya dari Surabaya, seminggu yang lalu datang
ke Tarakan, kemarin balik dan mampir ke
Balikpapan, sekarang mau jalan-jalan ke
Banjarmasin”, jawabku dengan sopan.
“Enak ya bisa jalan-jalan keliling!”
“Nggak Mbak, jalan-jalan ini karena kerjaan saja,
kebetulan kerjaan berikutnya ada di Banjarmasin
dan masih 3 hari lagi, daripada pulang balik
waktunya aku pakai untuk jalan-jalan melihat
kota-kota di Kalimantan.”
“Umurmu berapa?”, tanyanya sambil menutup
majalah yang ada dipangkuannya sambil
menoleh kepadaku.
“28″, jawabku dan langsung dibalas, “Masa
sudah 28, kelihatannya masih 20-an”.
“Percaya atau nggak, pokoknya 28″, sambil
berdiri dari tempat dudukku dan minta jalan
untuk segera turun dari bus. Ternyata hawa
diluar bus lebih hangat daripada didalam karena
AC bus tak dimatikan sewaktu berhenti.
Setelah turun dari bus, aku berjalan ke
kerumunan awak bus dan menanyakan kapan
giliran busku masuk ferry dan menyeberangi
Teluk Balikpapan yang lebar ini. Setelah
mendengar jawaban dari awak bus dan petugas
ferry bahwa busku hanya bisa masuk ferry yang
besar sehingga harus nunggu sampai 2 jam lagi,
maka dengan perasaan kesal aku berjalan ke arah
sungai sambil mengeluarkan rokokku dari dalam
jaket. Sambil menghisap rokokku dalam-dalam
kurogoh jam di sakuku dan kulihat waktu sudah
menunjukkan 20.00. Disertai terpaan angin dan
hawa sungai yang khas, kunikmati kesendirianku
dengan sebatang rokok.

Dari kejauhan kulihat busku mendapat tambahan
penumpang dan yang menjadi perhatianku
adalah seorang gadis cantik beserta ibunya naik
melalui pintu belakang bus. Pikiranku kembali
melayang membayangkan duduk disebelah gadis
cantik itu, tapi pikiran sadarku melenyapkan
lamunanku dan memaksa menerima kenyataan
bahwa yang duduk disampingku adalah wanita
ber-suami berumur 35 tahun. Sebenarnya aku
tak menyesal duduk disamping wanita itu tapi
obrolannya seringkali menganggap aku anak
kecil, makanya aku turun dari bus sebenarnya
untuk menghindari obrolan dengannya.
Kekuranganku adalah sangat kaku dengan orang
yang baru kukenal terutama wanita sehingga
obrolanku hanyalah soal-soal sepele saja karena
takut menyinggung perasaan, apalagi saat ini aku
berada di daerah yang adatnya beda denganku
meskipun aku sudah berkali-kali ke beberapa kota
di Kalimantan.

Setelah capek keliling didaerah penyeberangan
ferry, aku kembali naik kedalam busku. Aku kaget
ketika mendapati tempat dudukku sudah diduduki
wanita yang duduk disebelahku tadi.
Dengan tenang dia berkata dengan logat Banjar,
“Ekam (kamu) duduk di tempatku lah!”.
Karena tak ingin ribut soal tempat duduk aku
menuruti aja kemauannya. Sekarang wanita itu
duduk disebelah kiriku dekat jendela dan aku
disebelah kanannya dekat lorong bus.
“Berani benar wanita ini, kalau begitu aku harus
bersikap sama dengannya”, umpatku dalam hati.
Belum habis kedongkolanku dia mengulurkan
tangannya padaku sambil mengucapkan
namanya, “Iswani, namamu siapa?”.
Dengan malas kujabat tangannya, “Antok”,
jawabku singkat sambil menarik tanganku.
Tapi genggamannya erat seakan tak mau
melepas tanganku, aku merasa dia berusaha
merasakan kepalan tanganku. Kemudian dia
melepas sambil berkata, “Tanganmu halus sekali
seperti tangan cewek”, dengan tersenyum.
“Emangnya kenapa?”, tanyaku dengan ketus.
“Kerjamu apa? Pasti bukan kerja kasar”, tanyanya
kembali dengan nada halus.
“Memang bukan, terus kenapa?”, sengaja
kujawab dengan pertanyaan lagi.
“Ya, nggak kenapa-kenapa, kalau nggak mau
jawab nggak apa-apa!”, dengan nada kesal.
Melihat raut mukanya yang kesal akan jawabanku
aku tersenyum dalam hati sambil menatap
wajahnya agak lama dan baru kusadari kalau
wajahnya cukup menarik. Belum lama kunikmati
wajahnya, dia menoleh padaku, secepatnya
kualihkan perhatianku pada majalah yang
dipegangnya. Merasa gugup dan salah tingkah,
aku tak dapat mengeluarkan sepatah kata-pun
dan hanya menatap majalah yang ada di
pangkuannya.
“Pingin pinjam?” tanyanya.
“Iya, iya ..”, jawabku patah-patah.
“Suka lihat cewek telanjang ya?”, tanyanya.
Bagai disambar gledek, aku terhenyak sadar
bahwa sampul depan majalah gosip yang sedang
kutatap adalah gambar cewek berbikini dengan
pose menantang di pinggir kolam renang.
Seketika itu wajahku memerah.
“Ah, Iya .. mm.. nggak kok Mbak”, sambil
tersenyum malu.

Dia hanya tersenyum melihat tingkahku, “Nih
majalahnya, jangan malu-malu, dong”.
Dengan perasaan campur aduk antara malu dan
bingung kuterima majalahnya, lalu segera kubuka
ke halaman tengah untuk menghindari gambar
seronok, tapi justru yang kubuka adalah halaman
poster dimana model yang ada dicover depan
berpose lebih menantang lagi.
“Cakep ya!”, gumam Iswani yang ikut melihat
halaman yang sedang kubuka.
“Eh, iya Mbak, sip banget”, jawabanku polos dan
tak terkontrol lagi, tapi dalam hatiku mengumpat,
“Sial, sial, sial..”
“Dasar cowok, kalau udah lihat cewek cakep pasti
lupa istrinya”, celoteh Iswani.
“Jangankan istri, pacar saja saya belum punya
kok”, jawabku sambil menutup majalah.
“Nggak usah bohong, Tok”
“Terserah Mbak, mau percaya boleh, nggak juga
nggak apa-apa”
Kemudian kami mengobrol panjang lebar dengan
berbagai persoalan sampai tak terasa kalau bus
sudah masuk kedalam ferry.
Setelah ferry jalan, sopir bus mematikan mesin
serta semua lampu bus dan menyilahkan
penumpang naik ke ferry, tapi karena malas
keluar aku berusaha merebahkan tempat
dudukku agar bisa tertidur. Iswani bertanya
padaku, “Nggak turun, Tok?”. “Malas, mau tidur
aja disini”. “Dasar bayi, kerjanya tidur melulu”,
olok Iswani padaku sambil berdiri dan berusaha
melewati kakiku. Tanpa menyahutinya
kupejamkan mataku, kurasakan kakiku mulai
dilewati Iswani dengan susah payah karena
sempitnya ruangan antara kakiku dengan tempat
duduk depanku, tapi hal itu tak membuatnya
menyerah atau membangunganku meminta jalan
sejenak. Akupun cuek saja sambil membuka
sedikit mataku dan kulihat Iswani melewatiku
dengan membelakangiku sehingga pantatnya
yang seksi berada tepat dimukaku. Sebenarnya
aku ingin memegangnya tapi aku masih tahu diri.

Tanpa sengaja langkahnya tersandung pahaku
sehingga sandalnya lepas. Dengan agak
berjongkok dia berusaha mengenakan kembali
sandalnya dan mataku terbuka lebar karena
pantatnya menggeser-geser pahaku.
“Kenapa nggak lewat-lewat?”, tanyaku pura-pura
tak tahu masalahnya.
“Sandalku lepas, nah ini baru dapat!”, bersamaan
dengan itu terdengar suara perahu mesin
berpapasan dengan ferry sehingga terjadi
gelombang yang membuat ferry sedikit
mengayun. Ayunan gelombang yang
sebenarnya tak seberapa itu membuat Iswani
yang ada berdiri di depanku kehilangan
keseimbangan dan jatuh menimpaku yang lagi
duduk. Karena kesigapanku aku berhasil menahan
punggungnya sehingga dia terduduk
dipangkuanku. Pantatnya menduduki daerah
kemaluanku hingga dengan cepat burungku
berdiri dan menonjolkan bagian depan celanaku.

www.ceritaindo.sextgem.com “Nggak apa-apa, Mbak?”, tanyaku tepat diteliga
kanannya.
“Nggak apa-apa, terima kasih ya!”, jawabnya
sambil menolehkan wajahnya ke mukaku.
Karena gerakannya menoleh tadi, tanganku yang
menahan punggunya lepas dan mengenai bagian
samping payudaranya. Dalam remang-remang
dalam bus wajahnya bertatapan dengan wajahku
sambil menunggu redanya ayunan akibat
gelombang.
Saat itu aku merasa tegang tapi Iswani sepertinya
malah menikmati duduk dipangkuanku. Setelah
kurasakan agak reda dari ayunan gelombang, aku
menariknya berdiri lagi. Akhirnya ia dapat berdiri
lagi dengan membelakangi aku tapi karena
ruangan sempit maka bagian depan celanaku
yang menonjol menggeser selakangan
belakangnya. Kurasakan enaknya hingga dengan
sengaja aku sedikit jongkok dan menggesek
pantat dan selakangan belakangnya. Bukannya
segera lewat dari depanku tetapi Iswani malah
merapatkan gesekan sambil sedikit mengerang
lirih “mmh..”, untungnya didalam bus tak ada
siapa-siapa. Menyadari setiap saat ada orang yang
dapat memasuki bus maka kutarik badanya
kekanan hingga lepas himpitan badanku.
Kemudian aku duduk kembali tanpa berani
menatap wajahnya dan dia ngeloyor turun dari
bus. Kupejamkan mata dan segera kulupakan
kejadian mengasyikkan yang baru terjadi.
Samar-samar dalam tidurku terdengar suara
gaduh penumpang yang kembali ke bus.
Rupanya ferry telah sampai dan bus akan segera
melanjutkan perjalanannya, tapi mataku masih
sulit terbuka. Baru setelah teman dudukku
melewati kakiku membuat aku terbangun,
setengah sadar aku bertanya, “Jam berapa
sekarang?”
“Baru pukul 21.00″, jawabnya.
Dengan setengah sadar kutegakkan kembali
kursiku agar penumpang dibelakangku tak
terganggu. Bus bergerak keluar dari ferry dan
dalam 30 menit berbelok ke kanan dan berhenti di
sebuah rumah makan.
Kali ini aku segera turun karena sudah lapar sekali.

Aku langsung mengambil makanan yang telah
disiapkan serta menyerahkan sobekan tiketku
pada pegawai yang menghidangkan makanan.
Selesai makan aku segera ke toilet untuk buang air
kecil, lalu kembali ke bus dengan menghisap
sebatang rokok. Aku merasa segar kembali,
sambil menunggu untuk berangkat kembali, aku
melakukan stretching disamping pintu masuk bus
agar badanku tidak pegal semua karena terlalu
lama duduk. Tiba-tiba aku merasa punggungku
ditepuk orang, aku toleh kebalakang yang kulihat
adalah Iswani.
“Kalau acara makan kamu cepat sekali, turun
duluan, nggak nunggu aku”, ucapnya tanpa
memberiku kesempatan bicara.
“Turun duluan saja dapat makan sedikit, apalagi
nunggu Mbak, pasti keburu habis”, gurauku
untuk menangkis olokannya.
Sambil mendorongku minggir untuk masuk
kedalam bus dia berkata “Awas, ya!” dengan
muka masam.

Perjalanan berlanjut melewati jalan aspal yang
berukuran pas untuk 2 kendaraan seukuran
kijang, beruntunglah dalam perjalan ini
cenderung sepi, tapi bila berpapasan dengan truk
atau sesama bus maka salah satunya harus turun
dari jalanan aspal. Hal ini membuat bus
bergoyang keras kekiri dan kekanan. Kali ini
teman dudukku sangat diam, tapi aku tidak tahu
apakah dia tidur atau masih terjaga karena lampu
didalam bus dimatikan. Setelah 2 jam berjalan
bus mulai memasuki daerah tanjakan dengan
jalan yang berlika-liku. Goyangan bus sangat
keras sekali ketika menikung karena sopir tidak
mengurangi kecepatan sama sekali. Barang-
barang dibawah kursi penumpang mulai
berserakan tak terkecuali sandal dan sepatu
penumpang yang dilepas. Aku sama sekali tidak
khawatir dengan hal itu karena sepatuku tidak
pernah kulepas, tapi tidak bagi teman dudukku.

Dia kelihatan bingung mencari sandal kanannya
yang hilang entah kemana.
Aku mencoba menenangkan, “Mbak, nanti aja
dicari kalau bus berhenti dan lampunya
dinyalakan, pasti ketemu.”
Bukannya tenang tapi dia malah marah, “Jangan
bercanda, ayo bantuin cari.”
“Percuma gelap Mbak, nggak kelihatan apa-apa”,
jawabku.
“Belum berusaha udah nyerah”, bentaknya
padaku sambil membungkukkan badannya.
“Bukannya menyerah, Mbak, tapi aku kan tidak
ikut punya sandal, kalau kaki Mbak juga bisa
dilepas mungkin juga ikut hilang ya, hehehe..”,
jawabku dengan bercanda.
Dalam remang-remang kulihat dia
mendongkakkan kepala menghentikan
pencariannya dan dengan cepat tangannya
memegang bagian dalam pahaku lalu
mencubitnya. Untung bisa kutahan jeritanku, tapi
rasa cubitan itu benar-benar menyakitkan. Iswani
ganti tersenyum dan tak melepaskan cubitannya
berkata pelan, “Untuk tanganku ini nggak bisa
dilepas, kalau bisa pasti sudah merah semua
sekujur tubuhmu karena cubitannya”.
Kupegang tangannya yang mencubit sambil
memohon, “Maaf Mbak, tolong lepaskan
cubitannya nanti aku bantuin”.
“Kalau kamu bohong akan kucubit lagi ya”,
ancamnya sambil melepaskan cubitannya.
“Iya, iya”, jawabku sambil menengok kebagian
belakang bus kalau-kalau ada kursi kosong untuk
pindah tempat dan menghindari cubitan
berikutnya, tapi tak kutemukan.
“Cari apa Tok? Kursi belakang udah penuh tinggal
sebelah sopir kalau mau pindah”, bisik Iswani di
telinga kiriku.

“Ah, nggak kok Mbak”, sambil mengelus bekas
cubitannya yang masih sakit padahal aku
memakai celana jeans tebal. Ternyata siasatku
sudah terbaca, “Sial”, ungkapku dalam hati.
“Ayo cepat carikan sandalku sebelum benar-
benar hilang”, perintahnya padaku.
“Sebentar Mbak, cubitan Mbak masih sakit nih”,
jawabku tak mau kalah.
“Ooo, pingin dicubit lagi ya?”, ancamnya lagi.
“Iya-iya”, lalu kurogoh saku jaketku untuk
mengambil senter kecil yang biasa kubawa dan
menyalakannya. Kuarahkan senterku ke sandal
kirinya untuk melihat bentuknya lalu
kubungkukkan badan kebawah kursiku, dengan
senterku akhirnya terlihat sandal kanan Iswani ada
dibawah tempat duduknya terjepit oleh kaki
belakang kursinya dan dinding bus.
“Sudah ketemu Mbak”, kataku sambil
menegakkan lagi punggungku.
“Mana?”, tanyanya. “Kejepit dibawah kursi Mbak,
dari bawah kursiku tanganku nggak sampai, coba
Mbak rogoh sendiri, mungkin tangan Mbak
sampai.”
Belum selesai penjelasanku dia sudah
membungkukkan badan dan berusaha mencari-
cari dengan tangannya. Tapi usahanya gagal.
“Tok, coba kamu aja yang ambil tapi lewat sini”,
sambil menunjuk ruangan diantara kedua belah
paha kakinya yang sudah dilebarkan.
“Yang bener Mbak?”, meskipun dia memakai
celana jeans tapi tetap aja rasanya nggak benar.

Dengan berbisik dia menenangkanku kalau hal itu
nggak apa-apa karena lampu didalam bus gelap
sehingga tidak akan ada yang melihat. Akhirnya
kuturuti kemauannya, kubungkukkan badanku ke
pangkuannya dan kumasukkan tanganku
kebawah tempat duduknya untuk meraih sandal
yang terjepit. Usaha pertama gagal karena
tanganku tak sampai, lalu semakin kubungkukkan
badanku lagi hingga mukaku hampir menyentuh
resleting celananya. Tangan kananku sudah
menyentuh sandal yang terjepit tapi masih belum
dapat meraupnya. Semakin kubenamkan mukaku
diantara kedua pahanya hingga daguku
menggeser selakangannya dan tiba-tiba bus
bergoyang agak keras sehingga aku hampir
terjatuh, untungnya tangan Iswani dengan cepat
menarik kepalaku dan kedua pahanya mengapit
badanku sehingga kepalaku terhindar dari bagian
belakang kursi didepan Iswani. Tapi akibatnya
mulutku menyentuh daerah kemaluannya dan
meskipun memakai celana jeans tapi aku yakin
dia merasakan sentuhan tersebut karena tarikan
tangannya pada bagian belakang kepalaku
bertambah erat meskipun bus sudah tak
bergoncang lagi. Dan akhirnya kudapatkan sandal
yang terjepit itu. Dengan menopangkan tangan
kiriku pada paha kanannya aku bersusah payah
untuk berdiri dan akhirnya berhasil kembali
ketempat dudukku kembali lalu keberikan
sandalnya yang masih kugenggam dengan
tangan kananku. Aku duduk lega sambil
menghirup udara sebanyak-banyaknya dan
kulihat dia memakaikan sandal itu dikaki kanannya
serta mengikatkan talinya dengan teliti sambil
berbisik, “Terima Kasih, ya!”
Setelah minum dari botol aqua yang ada di tasku,

tangan kananku kembali mengelus pahaku bekas
kena cubitan Iswani yang masih sedikit perih.
Tanpa kusadari ternyata Iswani melihatnya dan
berkata lirih, “Masih sakit ya, maaf ya!”.
Tapi aku tetap diam.
“Aku elus nanti pasti sembuh”, bisiknya sambil
mengelus bagian dalam paha kiriku.
Burungku yang sedari tadi tidur tenang mulai
menggeliat bangun terangsang oleh elusannya
yang semakin lama semakin menuju pangkal
paha. Elusannya sekarang berubah arah bagian
celana tepat dimana burungku bersembunyi.
Malam semakin larut dan Iswani semakin berani,
tubuhnya semakin mendekat ke tubuhku. Tangan
kanannya yang sedari tadi diam mulai bergerilya
membuka resletingku dan mulai memasuki
celana dalamku. Kumiringkan tubuhku agak kekiri
dan kutatap wajahnya. Kedua tangannya tetap
menggenggam burungku sambil sesekali
memainkan telornya. Tanganku tak mau kalah,
kuletakkan tanganku diatas kaosnya dimana
payudaranya berada dan kumainkan jari-jari
menggoda daerah putingnya. Kulihat bibirnya
mulai membuka karena mendesah lirih, tak kusia-
siakan kesempatan ini untuk menyodorkan
bibirku ke bibirnya dan melumatnya dengan
dengan penuh semangat. Lidahku mulai
bersentuhan dengan lidahnya, sesekali kusedot
lidahnya dengan bibirku kedalam mulutku dan
sebaliknya. Sementara itu tangannya memainkan
burungku dengan gerakan mengocoknya.
Tangan kiriku tetap menggosok-gosok
payudaranya sedangkan yang kanan bergerak
kebawah untuk membuka resleting celananya.
Setelah berhasil, kuraba bagian luar celana
dalamnya tepat didaerah besarang kemaluannya
dan sudah terasa agak basah. Kemudian
kumasukkan tangan kananku kedalam celana
dalamnya dan jariku mulai bermain-main dengan
disekeliling vaginanya. Jari telunjukku mulai
menemukan klistorisnya dan memejetnya dengan halus.

Bersamaan dengan itu dia
melepaskan ciuman dibibir serta melepas tangan
kanannya dan tetap meninggalakan tangan kirinya
di celana dalamku. Tangan kanannya mulai
merangkul bagian belakang leherku hingga
kepalaku tertarik ke bagian lehernya. Dengan
cepat kusedot leher kirinya yang menghasilkan
reaksi semakin liar. Jari jemariku tetap bermain
didalam celana dalamnya hingga pantatnya
terangkat sedikit yang merupakan tanda kalau
vaginanya sudah tak sabar dimasuki jariku. Dua
jariku langsung dengan mudah masuk kedalam
vaginanya yang sudah licin dengan mudah.
“Ahh..”, desahnya lirih
Desahannya bagaikan bensin yang membakar
semangatku untuk memainkan 2 jemariku dalam
liang kenikmatannya makin cepat dan cepat.
Akhirnya 2 jariku merasakan banjirnya cairan
hangat yang disertai dengan tarikan kedua
tangannya pada pergelangan tangan kananku
agar kedua jariku tetap menancap tak bergerak
didalam liang kenikmatannya yang paling dalam.

Dengan napas yang berat dan nada yang putus-
putus, Iswani mendesah.
“Mmh.. Hmm.. Tok.. Makasih ya..”
Setelah melepaskan pergelangan tanganku, dia
kembali tenang dan kutarik 2 jemariku yang
masih basah meninggalkan vaginanya lalu keluar
dari celana dalamnya. Aku kembali duduk dan
menoleh kekanan melihat keadaan sekeliling
dalam bus yang tetap melaju dengan kencang.
Kulihat penumpang disekitarku masih terlelap.
Kulihat jam di saku jaketku menunjukkan 01.00.
Kurasakan ujung burungku yang masih tegang
dan terjepit oleh karet celana dalamku merasa
kedinginan oleh hawa AC bus. Berniat
memasukkan burungku kedalam celana dalam
kulihat Iswani tertlungkup lunglai
membelakangiku.
Tiba-tiba bus berbelok ke kanan sehingga
tubuhku mengayun kekiri dan merangsek ke
tubuh Iswani. Toleh kanan-kiri serta dan sedikit
berdiri untuk melihat keadaan penumpang
sekelilingku masih terlelap bahkan bangku
belakangku kosong tak berpenumpang.
Keberanianku semakin bertambah. Kupelorot
celana dalamku hingga seluruh batang
kemaluanku dapat mendongkak dengan bebas.

Bagian depan tubuhku sudah menggeser
punggung Iswani, tapi dia masih tetap bereaksi,
mungkin karena sudah lemas. Tanganku
bergerak cepat, kurasakan resleting Iswani masih
terbuka, tangan kananku kembali masuk
celananya tapi tetap diluar celana dalamnya
sambil menekan-nekan bagian celana dalamnya
yang sangat basah tepat didepan lubang
kemaluannya. Pantat Iswani mulai sedikit
bergoyang dan menggeser batang kemaluanku.
Sudah tak tahan lagi maka segera kutempatkan
kedua tanganku di bagian pinggul celana jeansnya
untuk melorotkannya. Usahaku ternyata tak
dihalanginya malahan dia cukup membantu
dengan sedikit menopangkan pantatnya pada
kakinya hingga celananya tak terjepit oleh tempat
duduknya.

Sekarang celana dalam dan jeansnya udah
merosot sampai paha. Posisinya yang
membelakangiku menyebabkan pergeseran
nikamat antara batang kemaluanku dengan pantat
dan selakangannya. Tubuhku terus merangsek ke
tubuhnya dan kedua tanganku sudah berada
dalam kaosnya meremas-remas kedua
payudaranya meski masih dilindungi Bhnya.
Kurasakan ujung burungku menggeser
bagiannya yang sudah amat basah. Kukeluarkan
tangan kananku dan memegang batang
kemaluanku untuk kuarahkan ke target yang
benar. Dengan posisi duduk membelakangi aku
dia agak menelungkup bertopang sisi kiri
tubuhnya, pantat kiri tetap diatas kursi, pantat
kanan sedikit terangkat sehingga lubang
vaginanya siap menjadi target misilku.
Kudekatkan kepalaku pada telinga kanannya,
kuciumi pangkal lehernya. Nafas beratnya makin
terdengar seiring dengan desahan halusnya,
“Akh.. Ayo Tok, masukin..”
Tanpa menunggu aba-aba ujung misilku yang
sudang berada di ambang kenikmatan
menerobos masuk. Sebuah jeritan lirih membuat
tangan kananku langsung menutup mulutnya,
untungnya suara mesin bus masih sangat
mendominasi suasana. Misilku masih belum
bergerak, 3/4 bagiannya sudah masuk, sisanya
menunggu usahaku. Iswani sudah tak sabar, dia
mulai memaju-mundurkan pantatnya tapi tak
berhasil karena terhimpit badanku dan kursi. Tiba-
tiba bus bergoncang setelah berpapasan dengan
truk sehingga turun-naik dari aspal. Akibat
goncangan, batang kemaluanku semakin dalam
menancap kedalam liangnya dan kuteruskan
dengan gerakan maju mundur. Kulepas tanganku
dari mulutnya, terdengar desahan halus, “Hmm..
Akh.. ah.. Ah..” Kulihat samar-samar Iswani
menggigit bibir bawahnya dengan gigi atas ketika
bus melewati rumah-rumah yang berlampu.
Tangan kanannya menggengam tangan kiriku.
Gerakanku semakin cepat seiring dengan semakin
erat genggaman tangannya. AC bus yang dingin
tak dapat menahan butiran keringatku. Sedikit
demi sedikit Iswani merubah posisinya dan
berusaha duduk diatas kedua pahaku.

Kubantu dia dengan mengangkat pinggulnya hingga ia
benar-benar mendudukiku, celana dalam dan
jeansnya yang kupelorot tadi sudah turun sampai
pangkal kaki sehingga bagian bawah kedua
pahanya yang mulus saling bergeser dengan
bagian atas pahaku yang berbulu. Sekarang aku
tak dapat bergerak tertindih olehnya. Dengan
berpegang pada kursi didepannya dia melakukan
gerakan naik turun yang berirama seiring dengan
goncangan bus. Kenikmatan yang kurasakan
benar-benar tiada bandingannya. Cengkeraman
dinding vaginanya memberikan sensasi yang luar
biasa pada perasaanku. Setiap gerakan naik,
kedua pahanya mengapit kedua pahaku, dan
batang kemaluanku terasa disedot. Lalu gerakan
turunnya mengakibatkan ujung kemaluanku
terasa dipaksa membuka hingga bagian mulut
ujung kemaluanku menempel pada organnya
yang lembut dan basah, dan pangkal batang
kemaluanku turut menikmati sentuhan bibir
vaginanya.
Gesekan antara paha, pantat serta usapan-usapan
telapak tanganku pada bagian depan daerah
kemaluannya yang berambut mempercepat
klimaksnya. Iswani mulai memperlambat
gerakannya, menutup apitan kedua pahanya,
merebahkan punggungnya pada dadaku dan
menengadahkan kepalanya dipundak kananku.


Karena letak mulutku pas pada telinga kirinya
maka kuserobot telinganya dengan ciuman
mulutku. Kedua tangannya menggennggam erat
kedua tanganku. Seiring dengan desahan halus
yang keluar dari mulutnya, kurasakan otot-otot
pahanya mulai menegang, jepitan vaginanya
pada batang kemaluanku memberikan denyutan-
denyutan yang disertai rasa hangat keluarnya
cairan yang membasahi seluru batang
kemaluanku. Denyutannya bersambut dengan
denyutanku hingga misilku memuntahkan semua
amunisinya dengan tekananan yang hebat. Tiga
sampai empat kali tembakan misilku didalam liang
kenikmatannya dibalas dengan denyutan
vaginanya seakan menyedot batang kemaluanku
untuk menguras semua isi misilku. Batang
kemaluanku kembali berdenyut dan
mengeluarkan semua sisa amunisinya hingga
benar-benar habis.
Berdua kami menghela napas panjang selagi
penisku beristirahat dalam liang kenikmatan
miliknya. Iswani kemudian menegakkan
badannya dan mengambil beberapa lembar tissu
lalu menarik tubuhnya dari pangkuanku ke
samping kiriku, ke tempat duduknya. Sambil
membersihkan kemaluannya dengan tissu dia
mengulurkan sisa tissunya untukku. Setelah
membersihkan dan mengenakan kembali celana
kami, aku sempat melihat jam di sakuku, kulihat
pk 02.51, sebelum akhirnya tertidur pulas.
Terbangun oleh suara gaduh awak bus serta
penumpang yang siap-siap turun kulihat jendela
bus sudah terang benderang. Kuambil botol aqua
dari tas dan minum sampai tak tersisa isinya.
Kupandang Iswani yang duduk disebelah kiriku
masih memejamkan mata dengan raut muka
kepuasan yang melelahkan. Kulihat busku
melewati kota Martapura dan jam disakuku
menunjukkan pukul 07.26. Sisa perjalanan
kuperkirakan tinggal 1 jam lagi.

“Jam berapa Tok?”, tanya Iswani mengagetkanku.
“Setengah delapan”, jawabku.
“Di Banjarmasin nanti kamu nginap dimana
Tok?”, tanyanya lagi.
“Nggak tahu Mbak, kalau udah nyampai baru cari
penginapan”, jawabku santai.
“Aku ikut kamu, ya?”, tanya sambil tersenyum
menggoda.
Pertanyaan Iswani tadi menutup cerita
perjalananku Balikpapan-Banjarmasin dengan bus
AC. Jawabanku akan pertanyaannya yang terakhir
akan menentukan ceritaku selanjutnya di kota
Banjarmasin nantinya.


Adult | GO HOME | Exit
1/1893
U-ON

inc Powered by Xtgem.com